Opini

Disiplin Digital ASN

Etika, Integritas, dan Semangat “KPU Melayani”

Oleh: Eka Budiawan

Disiplin yang Hidup dari Kesadaran

Disiplin bukan sekadar datang tepat waktu atau mematuhi aturan kerja.  Bagi ASN di KPU Bengkayang, disiplin adalah wujud tanggung jawab moral—cara menghormati waktu, menjaga kepercayaan, dan menegakkan etika pelayanan publik.

Nilai itu kini diwujudkan melalui penerapan absensi elektronik berbasis aplikasi AppSheet, inovasi sederhana yang menanamkan pesan mendalam bahwa kejujuran adalah bentuk disiplin tertinggi.

Dalam rapat internal, Sekretaris KPU Bengkayang, Indra Yati, S.H., menyampaikan bahwa jika tidak bisa berprestasi, paling tidak jangan melakukan pelanggaran.

Kalimat sederhana itu sejalan dengan pandangan Sampe (2019) bahwa disiplin tidak tumbuh dari rasa takut terhadap sanksi, tetapi dari kesadaran untuk bertanggung jawab atas amanah yang diemban.
Nilai ini kemudian tumbuh menjadi budaya bersama di KPU Bengkayang, bukan sekadar kewajiban administratif.

Transformasi dari Dialog dan Kesepakatan

Sistem absensi elektronik di KPU Bengkayang tidak lahir dari perintah mendadak, tetapi melalui proses dialog dan kesepakatan yang matang.
Pembahasannya berlangsung dalam beberapa rapat resmi—tanggal 4 September, 30 September, dan 16 Oktober 2025—yang menandai proses belajar kolektif menuju tata kelola kerja yang lebih transparan.  Dari uji coba sederhana menggunakan Google Form hingga format AppSheet yang kini digunakan, semua disusun dengan partisipasi penuh dari pegawai.

Proses ini memperlihatkan bahwa perubahan yang berkelanjutan tidak datang dari paksaan struktural, tetapi dari kesadaran dan kepercayaan yang tumbuh di antara pegawai.  Sebagaimana dijelaskan Liando (2020), penyelenggara pemilu yang berintegritas harus membangun sistem yang mendorong keterbukaan dan tanggung jawab, bukan hanya mengandalkan regulasi formal.  Semangat itu kini terwujud dalam cara ASN KPU Bengkayang menata kedisiplinannya melalui teknologi.

Budaya Kerja yang Tumbuh dari Kepercayaan

Budaya kerja yang kuat tidak dibentuk oleh peraturan semata, tetapi lahir dari keteladanan dan rasa saling percaya.  ASN KPU Bengkayang menumbuhkan budaya itu dengan cara sederhana namun bermakna: hadir tepat waktu, bekerja dengan teliti, dan saling mengingatkan satu sama lain.  Sebagaimana diungkap Sampe (2019), birokrasi yang beretika bukan diukur dari banyaknya aturan, tetapi dari perilaku aparatur yang mampu dipercaya.

AppSheet kemudian tidak lagi dilihat sebagai alat pengawasan, melainkan simbol kepercayaan antara lembaga dan pegawainya.  Kedisiplinan digital ini menjadi jembatan antara tanggung jawab pribadi dan integritas kelembagaan, memperkuat karakter ASN yang jujur, tertib, dan berkomitmen pada pelayanan publik.

 

“KPU Melayani”: Dari Regulasi Menuju Pengabdian

Tagline “KPU Melayani” kini benar-benar terasa maknanya di lingkungan kerja ASN.  Melalui disiplin digital, semangat melayani itu tidak hanya menjadi slogan, melainkan diwujudkan dalam sikap kerja sehari-hari.  Menurut Liando (2014), penyelenggara pemilu bukan hanya pelaksana regulasi, melainkan bagian dari birokrasi pelayanan publik yang harus menumbuhkan kepercayaan masyarakat melalui integritas dan transparansi.
Prinsip itu kini hidup di KPU Bengkayang—dalam sikap, kebijakan, dan cara bekerja ASN-nya.

Bagi ASN, melayani berarti hadir sepenuhnya: waktu, pikiran, dan hati.
Pelayanan publik yang baik, sebagaimana diingatkan Liando (2020), adalah pelayanan yang menyeimbangkan profesionalisme dengan empati.
Kedisiplinan digital menjadi sarana menumbuhkan keandalan dan kepekaan sosial itu di tengah modernisasi birokrasi.

Etika dan Nurani dalam Pelayanan Publik

Etika pemerintahan selalu berakar pada kesadaran moral.
Sebagaimana dijelaskan Syafie (2001), aparatur negara tidak hanya diikat oleh hukum formal, tetapi juga oleh tanggung jawab moral untuk menjaga martabat pemerintahan dan kepercayaan rakyat.  Ia menekankan bahwa hukum adalah batas minimal, sedangkan etika merupakan batas ideal bagi penyelenggara negara agar tetap bermartabat di mata publik.

Pandangan Syafie (2010) memperkuat gagasan bahwa ASN yang beretika bukan hanya bekerja dengan benar, tetapi juga dengan hati yang sadar akan makna pelayanan.  Itulah yang tampak di KPU Bengkayang—setiap ASN memahami bahwa mencatat kehadiran bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi bentuk penghormatan terhadap kepercayaan publik.

Etika pelayanan publik, sebagaimana ditekankan Liando (2014), adalah keseimbangan antara kepatuhan terhadap aturan dan empati terhadap masyarakat.
Kedisiplinan digital di KPU Bengkayang menunjukkan keseimbangan itu: tertib tanpa kehilangan sisi kemanusiaan.

Refleksi: Disiplin yang Menguatkan Demokrasi

Sebagai bagian dari penyelenggara pemilu dan pemerhati literasi birokrasi, saya melihat kedisiplinan digital ini sebagai bentuk nyata dari gerakan moral ASN.

Gerakan yang menumbuhkan kesadaran bahwa pelayanan publik berawal dari hal-hal kecil—dari kehadiran tepat waktu, dari kejujuran sederhana, dan dari tanggung jawab yang dijalankan dengan tulus.

Makna kedisiplinan ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menegaskan bahwa penyelenggara pemilu harus bekerja dengan prinsip integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas.  Kedisiplinan digital melalui aplikasi AppSheet bukan hanya instrumen administrasi, melainkan praktik konkret dari nilai-nilai integritas yang diamanatkan undang-undang tersebut.
ASN di KPU Bengkayang menunaikan tanggung jawabnya dengan semangat melayani dan menjunjung tinggi kepercayaan publik.

Sementara itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara menekankan bahwa ASN adalah pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, dan perekat serta pemersatu bangsa.  Dalam semangat itu, kedisiplinan bukan sekadar urusan waktu kehadiran, tetapi juga cara ASN menegaskan perannya sebagai penjaga etika birokrasi dan teladan dalam pelayanan publik.

Setiap kali pegawai menekan tombol save di AppSheet, mereka sedang meneguhkan nilai-nilai luhur ASN sebagaimana diamanatkan undang-undang: jujur, berintegritas, dan mengabdi kepada bangsa.

Pada akhirnya, kedisiplinan digital di KPU Bengkayang bukan sekadar inovasi administrasi, tetapi refleksi etika, hukum, dan moralitas penyelenggara negara.  Ia menghubungkan idealisme undang-undang dengan praktik sehari-hari ASN yang sederhana namun bermakna.

Inilah wujud nyata dari semangat “KPU Melayani”—melayani dengan kejujuran, dengan dedikasi, dan dengan cinta pada tanggung jawab publik.

 

Daftar Pustaka

Liando, F. D. (2014). Etika Penyelenggara Pemilu di Indonesia. Manado: UNSRAT Press.

Liando, F. D. (2020). Meningkatkan Kualitas Demokrasi Melalui Penyelenggara Pemilu Yang Berintegritas. Jurnal Politico, 9(1), 45–58.

Republik Indonesia. (2017). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. (2023). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Jakarta: Sekretariat Negara.

Sampe, S. (2019). Etika birokrasi dan integritas ASN dalam pelayanan publik. Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Administrasi Publik, 5(1), 23–35.

Syafie, I. K. (2001). Etika Pemerintahan. Jakarta: Rineka Cipta.

Syafie, I. K. (2010). Ilmu Administrasi Publik. Jakarta: Rineka Cipta.

KPU Kabupaten Bengkayang. (2025). Notula Rapat Persiapan, Evaluasi, dan Penyempurnaan Sistem Absensi Elektronik. Bengkayang: KPU Kabupaten Bengkayang.

 

 

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 180 kali